Sabtu, 10 Januari 2009

Gerakan Pemuda Untuk Sains Dunia

Posisi dan peran pemuda makin ramai dipropagandakan. Catatan-catatan prestasi yang mereka torehkan di masa silam pun dibuka, dirujuk, dan diwartakan kembali. Banyak yang mengabarkan bahwa perubahan mendasar selalu dimulai dari reaksi dan pengorbanan kaum muda idealis terhadap persoalan besar. Target yang disasar propaganda itu cukup jelas: meyakinkan dunia agar kesempatan dan kepercayaan dibuka lebar-lebar bagi darah-darah muda nan segar.

Sheila Kinkade dan Christina Macy menambah panjang daftar pendukung. Dalam Our Time is Now: Young People Changing the World, keduanya menubuatkan bahwa abad ke-21 bakal jadi milik kaum muda. Ini diisyaratkan dengan kian berpengaruhnya peran mereka dalam perubahan dunia. Melalui buku itu, diriwayatkan bagaimana puluhan anak muda di seluruh penjuru berhasil memperbaiki dan mengubah komunitasnya menjadi lebih baik, jauh melampaui apa yang bisa kaum tua lakukan.



Sebetulnya agenda peneguhan semacam itu tidak perlu benar. Para pemuda sudah mengubah dunia (setidaknya-tidaknya pernah). Bukan perubahan kecil yang serba tanggung, tapi perubahan berskala raksasa dan mendasar. Mereka tidak bergerak di arena yang pekat dengan atmosfer kegagahan. Mereka bergerak di ruang-ruang yang dingin dan senyap. Mereka ada di dunia yang kerap dilupakan oleh aura heroisme: dunia sains.

Yang Muda yang Mengubah Dunia

Mari kita undur jarum waktu, dan telisik apa yang terjadi di Eropa pada 4,5 abad silam. Itu adalah era bersemainya fajar akalbudi. Dua buah risalah ilmiah diresmikan sebagai ikon lahirnya era baru tersebut, On the Revolutions of the Celestial Spheres (1543) karya Nicolaus Copernicus serta On the Structure of the Human Body (1543) karya Andreas Vesalius.

Ada dua hal yang istimewa di sana. Pertama, semangat modern telah lahir dan merevolusi model berpikir jumud ala Abad Pertengahan. Kedua, ini yang barangkali lebih mengejutkan, Vesalius menerbitkan On the Structure setebal tujuh volume saat berusia 29 tahun. Para pemuda Indonesia memang mampu meruntuhkan kolonialisme Belanda yang selama 3,5 abad telah membuat nusantara berkarat. Namun, lewat kajian rinci ihwal anatomi manusia, Vesalius sanggup merontokkan paradigma yang sudah mengurat-akar selama satu milenium lebih.

Seabad berikutnya, tepatnya pada 1667, ada seorang pemuda yang oleh Alfred North Whitehead ditabalkan sebagai lambang keberhasilan intelektual terbesar yang pernah dicapai umat manusia. Di usia yang ke-25, pemuda itu telah menelurkan gagasan-gagasan besar tentang bagaimana alam bekerja. Dialah pencetus kalkulus, teori optik, serta mahateori gerak dan gravitasi—meski karya monumentalnya Mathematical Principles of Natural Philosophy baru dipublikasikan pada 1687.

Pemuda itu adalah Isaac Newton. Dia telah membangun suatu visi dunia perihal alam material, di mana memungkinkan kita untuk menghitung perincian terkecil dari sebuah peristiwa tertentu. Konsepsinya telah menjelma menjadi sebuah karakter fundamental benda. Tanpa konsepsi itu, sains (dan pengetahuan berbasis akal lainnya sebagaimana yang kini kita kenal) muskil bisa tumbuh dan berkembang.

Para pemuda belum puas sampai di situ. Di sepanjang abad ke-20, kontribusi mereka bahkan kian meraksasa. Yang paling mentereng tentu saja Albert Einstein. Tiga gagasan revolusioner dia terbitkan pada usia 26, termasuk teori relativitas khusus yang tersohor itu. Serupa Newton, gagasan Einstein juga turut menyebar hingga ke ranah filsafat dan merombak tatanan berpikir manusia.

Selain Einstein, masih ada James Watson (25 tahun) yang menemukan struktur dan cara kerja DNA. Sementara di bidang fisika kuantum—ilmu yang juga demikian besar pengaruhnya bagi kebudayaan dunia—kita bisa temukan pula figur-figur muda macam Erwin Schrodinger (39 tahun), Louis de Broglie (31 tahun), Paul Dirac (26 tahun), Warner Heisenberg (24 tahun), dan Wolfgang Pauli (25 tahun). Untuk matematika, keperkasaan pemuda diwakili oleh John von Neumann (25 tahun) dan Kurt Godel (25 tahun).

Menilik betapa luar biasa temuan-temuan ilmiah yang dihasilkan, tak keliru jika dunia menahbiskan abad ke-20 sebagai abad ilmu pengetahuan. Dan sebagaimana telah diuraikan, tak sedikit di antaranya merupakan hasil jerih payah kaum muda. Kalau Sheila Kinkade dan Christina Macy baru meramalkan bahwa abad ke-21 bakal jadi milik pemuda, maka abad ke-20 justru sudah berada dalam genggaman mereka.

Sains dan Usia Muda

Sains dan usia muda agaknya menampakkan keterkaitan erat, meski untuk mengetahuinya secara presisi masih dibutuhkan banyak kajian terperinci. Hal itu khususnya terlihat jelas dalam bidang matematika. Bagi kebanyakan orang, 30 tahun adalah pemisah antara masa muda dan masa dewasa. Tetapi, para matematikawan cenderung memandangnya dengan agak berbeda. Bagi mereka, 30 tahun menandakan sesuatu yang jauh lebih suram.

Seorang matematikawan muda yang ambisius lazimnya memandang kalender dengan kekhawatiran dan kecemasan yang setara atau bahkan lebih besar ketimbang yang dirasakan oleh seorang model, aktor, atau olahragawan. Ini juga tak luput dari perhatian GH Hardy, yang lantas merekamnya dalam buku The Mathematician’s Apology (1967). Di sana, dia menulis bahwa sepengetahuannya tak ada karya matematika kelas satu yang sanggup dihasilkan oleh matematikawan di atas umur 50 tahun.

Namun, sebagaimana kata matematikawan umumnya, kecemasan seputar usia tersebut paling parah terjadi saat menjelang 30 tahun. Karena itu, banyak yang menasihati agar para jenius pemula berusaha semaksimal mungkin sebelum berusia 30, apa pun hasilnya.

“Saya cenderung berpendapat bahwa kita mencapai puncak sekitar 30-an. Saya tidak mengatakan Anda pasti demikian. Mudah-mudahan Anda tidak begitu. Tapi, menurut saya, selewat itu Anda tidak mungkin berprestasi lebih baik. Itu firasat saya,” ujar matematikawan Paul Cohen. Nada serupa juga datang dari Von Neumann, yang biasa mengatakan bahwa kemampuan matematika utama menurun sejak sekitar umur 26. Setelah itu, sambungnya, matematikawan harus puas hanya dengan mengandalkan kecerdasan biasa yang sama sekali tidak istimewa.

Barangkali karena alasan itulah mengapa Anugerah Fields Medal—penghargaan tertinggi di bidang matematika yang sama prestisiusnya dengan Hadiah Nobel—hanya diperuntukkan bagi matematikawan yang berusia di bawah 40 tahun. Lewat anugerah yang dilangsungkan sekali dalam empat tahun, Fields Medal agaknya sengaja dirancang untuk menjunjung semangat para jenius belia agar segera menghasilkan karya-karya besar sebelum tertelan usia tua, usia yang memang sudah sulit untuk mengakomodasi kesegaran, kreativitas, dan orisinalitas pikiran.

Demikianlah, darah-darah muda telah menancapkan tiang-tiang utama bagi sains, yang lantas berdampak besar bagi pembentukan peradaban dunia. Walau banyak yang makin sinis terhadap cara berpikirnya yang dianggap kian merusak, namun sainslah yang sudah membuka jalan bagi ditemukannya penisilin dan dikirimnya manusia ke bulan. Dan atas kemajuan itu, kita mau tidak mau harus berterima kasih pada kaum muda.

Sampai di sini, pertanyaan penting pantas kita ajukan kembali: masihkah dunia perlu diyakinkan lagi agar sudi membuka kesempatan seluas-luasnya kepada para pemuda? Jika masih kurang yakin juga, bersiaplah menyaksikan kembali aksi-aksi cemerlang di berbagai bidang yang bakal disajikan semangat-semangat muda berikutnya. Siapa tahu nubuat Sheila Kinkade dan Christina Macy benar-benar terwujud: abad ke-21 (lagi-lagi) sepenuhnya jadi milik angkatan muda.






Read More…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Science Never Die © 2008 Template by:
SkinCorner